Arsip untuk Juni, 2007

Nak, kalau pergi ke masjid atau mushola, tinggalkan yang jelek dan bawa pulang yang baik…

Pernah dapat nasihat seperti itu? Guru ngaji dan guru agama saya dulu sering banget mengulang nasehat tersebut. Apa yang salah dari nasehat itu? Ndak ada, sih… Sampai kemudian ada yang menyalahartikan makna yang tersirat di dalamnya šŸ˜¦ .

Di kampus saya, ada sebuah mushola. Lumayan luas, sehingga bisa dipakai berjamaah sampai 5 shaf, walaupun baunya agak… Gimanaa gitu šŸ˜¦ . Mushola ini juga terletak di lokasi yang dapat dikatakan bagus. Mudah diakses, dan dekat dengan kran air siap minum. Tempat wudhu-nya juga representatif lah…

Nah, beberapa hari yang lalu… Saya mendapat kesempatan untuk menemui fenomena penyalahartian nasehat di awal posting itu. Waktu itu lumayan banyak orang yang berjamaah. Semuanya berjalan seperti biasa, normal, tidak ada yang aneh… Waktu sholat pun begitu, biasa saja. Nah, pas waktu selesai sholat itu… Barulah ada masalah.

Sepatu saya, yang berwarna putih dan merupakan salah satu barang pertama yang dibeli menggunakan gaji saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan sudah menemani saya selama hampir 2 tahun itu… Tidak berada di tempatnya lagi. Hilang lenyap, bersama kaos kaki yang saya beli di Gasibu seharga 10 ribu untuk 3 potongnya šŸ˜¦ . Keanehan berlanjut.. di anak tangga dekat mushola, ada sepasang sepatu yang walaupun sudah tua, namun kelihatan kalau dibuat dari bahan kulit yang baik (kekurangannya hanyalah, sepatu itu sudah tua… itu saja) lengkap dengan kaos kaki yang kelihatan kalau harganya lebih mahal dari kaos kaki saya.

Semua orang menyarankan agar saya memakai sepatu itu untuk sementara, sampai mendapatkan sepatu baru. Terpaksa deh, saya memakainya… untuk pulang, walaupun hati ini mengatakan ‘tidak’. Entah ada hubungannya dengan peristiwa ini atau tidak, malam harinya saya demam disertai batuk dan pusing plus sakit perut. Makanya selama beberapa hari ini saya ndak nge-blog.

Hari ini, saya sudah agak baikan… Sudah beli sepatu baru di pasar kaget depan ITB setiap hari Jumat, dan sekarang saya akan kembalikan sepatu tua beserta kaos kakinya itu ke tangga depan mushola. Sepatu itu bukan milik saya, jadi saya ndak berhak menyimpannya. Iya ‘kan?

Oh iya… sekedar peringatan. Kalau ke kampus saya, dan kebetulan sholat di mushola itu, harap berhati-hati. Kejadian ini bukan yang pertama. Salah satu teman saya (Yuri, namanya) kehilangan laptopnya dan teman yang lainnya lagi (Hendri, namanya) kehilangan sepatunya juga (hanya saja, dia tidak seberuntung saya yang mendapat ‘pinjaman’ sepatu) di mushola yang sama…

Saya jadi kepikiran… Oke, mungkin orang itu sekadar melaksanakan nasehat dari orang-orang bijak (tinggalkan yang jelek, bawa yang baik)… Tapi, apa dia ndak mikir ya? Apa yang telah dia lakukan akan membuat orang jadi males datang ke mushola itu. Kalaupun datang, orang akan meninggalkan sholat berjamaah karena harus bergiliran menjaga barang-barang. Plus, sholat juga ndak bakalan khusuk karena khawatir barangnya hilang. Selain itu, apa orang itu ndak takut kalau pas suatu saat nanti dia apes kemudian tertangkap basah dan kemudian dihajar rame-rame ya? Teman saya, Yuri sudah mengembangkan teknik pukulan baru yang akan digunakan jika dia berhasil menemui orang yang sudah mengusik ketenangan umum itu. Yah, moga saja waktu jurus itu dilepas ndak sampai menimbulkan efek yang berlebihan (samudera mengering, langit runtuh, bumi terbelah… šŸ™‚ ).

Yah, semoga kejadian ini adalah yang terakhir di mushola itu… Amin.

jalan masih panjang…

Posted: 26 Juni 2007 in Uncategorized

Satu demi satu, anak-anak panah itu melesat meninggalkan busur… Menuju langit biru yang luas tanpa batas, memenuhi takdir yang telah digariskan untuk mereka. Tugasku selesai. Dan kini, aku meraih anak panah lain dan memasangnya di busur.

Ada pertemuan, maka pasti ada perpisahan. Ada awal, maka ada akhir. Hari ini, SMKN 1 Panji menyelenggarakan acara pelepasan anak panah. Ada 400-an anak panah yang dilepas. Dan saya ikut membentuk 45 buah di antaranya secara khusus. Hhh… Dua tahun saya membentuk mereka, dua tahun saya belajar dari mereka, dua tahun kami belajar bersama. Dan sekarang kami harus berpisah.

Oke, terkadang mereka itu memang menyebalkan, bikin susah, makan ati, ngerepotin, dan kadang membikin saya speechless. Tidak jarang emosi saya meledak (baca: marah) karena mereka. Tapi sering juga saya terpaksa tertawa gara-gara mereka. Adel yang sok anggun, Budi yang selalu merendah, Dian Ika yang centil, Dibyo yang berusaha serius tapi sering gagal (meniru gurunya, nih ^_^), Inul yang emosional, Mega yang melankolis, Imam yang sok nakal, Amin yang sok males, Indra yang sok rajin, dan lain semuanya dengan kepribadian masing-masing yang tak kalah menarik.

Satu tahap dalam perjalanan sudah dilewati, namun jalan yang harus kalian tempuh masih sangat panjang. Sekarang, hidup kalian sepenuhnya menjadi tanggung jawab kalian sendiri. Apa yang akan kalian lakukan, apa yang kalian pilih, akan menjadi apa kalian, semuanya menjadi tanggung jawab kalian sendiri. Live up to your fullest… Apapun yang kalian pilih, maka jalanilah dengan penuh kebanggaan dan kesadaran diri. Karena kalian itu hebat. Kalian pasti mampu menjalani. Jangan takut mengecewakan orang lain, tapi jangan sampai kalian mengecewakan diri sendiri.

Momen seperti ini (perpisahan), sesuai tradisi, biasanya diawali dengan tawa dan suka ria. Ada banyak nyanyian, tarian, puisi, pesan dan kesan… Kemudian diakhiri dengan tangis. Entah kenapa, tapi itu selalu terjadi dari tahun ke tahun. Saya dak habis pikir, nih. Soalnya jadi lucu… Bayangkan, ada seorang rekan yang terkenal killer, dengan wajah sangar bin garang dilengkapi kumis tebal melintang (pokoknya serem deh, kalau sudah marah…), harus tampil dengan wajah merah padam (menahan tangis) dan air mata mengambang di pelupuk mata. Yah, selain terkenal killer, beliau itu adalah salah satu rekan yang terkenal paling dekat dengan anak-anak (aneh ‘kan? tapi itu nyata…).

Yah, selamat jalan deh… Semoga kalian meraih apa yang kalian inginkan dan cita-citakan. April, Wahyu, Indra, dan Sapta, jadilah mahasiswa yang baik… Wira, Rina, Reni, Devi, kerja yang semangat ya… Ali, kamu sudah merasakan satu sisi hidup yang mungkin agak berat. Jangan diulangi ya… Yudi dan Lely, bangunlah keluarga yang baik dengan penuh tanggung jawab ya tapi jangan cepat-cepat punya anak ya, saya belum mau dipanggil mbah nih šŸ™‚ … Yuli dan Yoyok, dapat beasiswa itu enak banget lho… Yang lain, apapun pilihan kalian, kerjakan dengan SEMANGAT. Oke? Ingat 3 PA (PAtennang, PApe-de, PAnarema)… Saya lepas kalian dengan senyum šŸ™‚

Kenapa aku ndak ngomong ke dia?” ratap sang tokoh wanita di sela-sela isak tangis. “Jelas-jelas aku berharap dia yang memainkan saxophone… Jelas-jelas keinginan kedua adalah selalu bersama dia… Tapi kenapa ndak ngomong begitu ke dia? Sekarang… Apalah gunanya itu semua? Tuhan, kalau boleh… Beri aku waktu satu hari saja untuk menyampaikan hal itu kepada dia… Bisakah?

Tulisan itu adalah terjemahan bebas dari satu adegan dalam film ‘Fly Me to Polaris’. Sebuah film lama yang menjadi koleksi pertama dalam perpustakaan film saya bersama dengan ‘A Knight’s Tale’. Kemarin, karena nganggur, jadinya saya manfaatkan untuk melakukan maintenance koleksi VCD dan DVD (baca: nonton film dari pagi sampai malam šŸ˜€ ).

Saya jadi teringat pada alasan untuk memasukkan film ini ke dalam koleksi. Bukan karena aktor atau aktrisnya, tapi karena ceritanya yang mengisahkan dua orang yang sama-sama gak sadar kalau saling mencintai. Kemudian si cowok meninggal, tapi diberi kesempatan untuk kembali ke dunia. Dia (si cowok) memilih kembali ke dunia agar dapat mengungkapkan isi hatinya kepada si cewek. Di saat yang sama, si cewek baru sadar kalau ternyata dia itu mencintai si cowok yang selama ini dekat dengannya (witte trisno jalaran soko ngglibet). Dan dia itu juga menyesal karena tidak sempat mengutarakan perasaannya. Tuh, contoh ratapannya… ada di awal posting.

Alasan kedua kenapa saya suka film ini adalah karena adanya kemiripan dengan pengalaman pribadi. Yup, saya pernah mengalami hal yang mirip. Belum sempat mengungkapkan perasaan kepada orang itu… Eh, ternyata sudah waktunya untuk lulus. Dan, sampai sekarang belum ketemu lagi dengan orang itu. Kalau saja waktu itu saya mengungkapkan bahwa saya ‘suka’ dia, mungkin sekarang saya ndak akan mengarungi hidup ini sendirian. Mungkin sekarang sudah akan ada yang memanggil saya ‘abah’ atau ‘bapak’ atau ‘ayah’ atau ‘babe’ šŸ™‚ … dan mungkin juga saya ndak akan pernah merasa lonely in the crowd lagi.

Tapi kemudian, biasanya, muncul pemikiran lain. Mungkin saja kehidupan saya ndak seperti sekarang. Mungkin saja saya ndak akan kenal yang namanya blog. Mungkin saja saya ndak akan berkesempatan kuliah di ITB. Mungkin saja saya ndak akan lulus dari ITS. Mungkin saja kami justru jadi musuh karena hubungan kandas di tengah jalan. Ada begitu banyak kemungkinan ‘kan?

Kalau sudah begitu, tidak ada lagi yang namanya penyesalan. Oke, saya memang tidak sempat mengungkapkan perasaan sehingga kehilangan kesempatan untuk merasakan ‘sesuatu’ yang ‘katanya’ indah. Tapi karena itu, saya menemukan begitu banyak hal indah lainnya, yang mungkin ndak akan saya temukan kalau saya memilih ‘jalan’ itu.

Bukan berarti saya menyerah lho ya… Kalau ada kesempatan, mungkin saya akan mengungkapkan perasaan saya kepada orang itu. Tapi, lihat situasi dulu. Kalau ternyata dia atau saya sudah menemukan pendamping hidup sebelum bertemu, kenapa harus menyiksa diri? Kata orang, kunci kebahagiaan dan kesuksesan itu adalah bagaimana menikmati semua yang diberikan dan menjalani semua yang ditetapkan dengan ikhlas. Iya, ndak?

Walau begitu, saya sok memahami dan setuju dengan yang berikut ini…

the last time

if i knew it was going to be the last time…
i would see you fall asleep,

i would tuck you in more tightly
and pray the lord your soul to keep.

if i knew it was going to be the last time…
i’d see you walk out the door,

i’d hug you and i’d kiss you and
ask you back for more.

if i knew it was going to be the last time…
i would be here to share your day,

i would be there every moment
and not let it slip away.

for surely there’s tomorrow
to make up for the past,

we always get a second chance
and everything will last.

but just in case i might be wrong,
and today is all i get,

i’d like to say, “i love you”
and i hope you don’t forget.

if tomorrow never comes you’ll surely regret the day
you let the hours pass with something left to say.

so hold your love ones close today
and whisper in their ear,

tell them how you love them
and that you hold them dear.

take time to say,
i’m sorry, thank you, it’s okay.

and if tomorrow never comes,
you’ll have no regrets about today.

don’t let the sun set without letting
your loved ones know how you feel.

ARIA the animation…

Posted: 22 Juni 2007 in hobby

Kemarin, jalan-jalan ke counter DVD di depan kampus. Iseng, beli anime berjudul ARIA. Iseng aja, n milihnya tuh “pok pak pok se kemma nyapok” (ini bahasa madura, biasa dinyanyikan kalau harus memilih secara acak & ngawur). Sore hari baru sempat menonton. Hasilnya, saya suka banget sama film ini!!!
Kenapa? Berikut alasannya…

1. Setting lokasinya adalah di sebuah planet bernama Aqua, di kota bernama New Venezia, di wilayah New Adriatic Ocean. Planet ini dulunya dikenal dengan nama Mars. Yup, Mars yang gersang dan berwarna merah itu telah mengalami terraforming besar-besaran sehingga sebagian besar wilayahnya saat itu malah berupa air. Makanya diberi nama Aqua. Bumi dalam cerita ini berganti nama menjadi Man-Home dan sudah rusak oleh polusi sehingga lautnya tidak bisa dipakai berenang dan tanahnya hanya sedikit yang bisa dipakai bercocok tanam (tidak diceritakan tentang bagaimana manusia yang tinggal di Bumi memperoleh makanan). Kolonisasi planet lain adalah impian terbesar manusia, dan rusaknya Bumi adalah bahaya yang mengancam kita saat ini. Karena itu, melihat bagaimana sebuah mimpi terwujud (walaupun hanya dalam film) membuat saya jadi… gimanaaa gitu (sulit diungkapkan dengan kata-kata). Excited, mungkin…

2. Karakter-karakter utamanya adalah para water fairies/ pengemudi gondola/ water guide, yang disebut sebagai undine. Mereka digambarkan sebagai gadis-gadis cantik nan anggun *maklum, saya ini kan cowok šŸ™‚ *, tapi bisa berubah bentuk jadi komikal yang lucu banget. Karakter utama ada 6 orang. Alicia + Akari dari Aria Company, Akira + Aika dari Himeya Company, dan Athena + Alice dari Orange Planet Company

3. Setiap company, punya kucing bermata biru sebagai presiden (saichou, bener gak nulisnya? belum belajar bahasa Jepang nih T_T) atau maskot. Kucing jantan putih gemuk bernama Aria milik Aria Company, kucing betina biru dengan ekor panjang bernama Himeya milik Himeya Company yang ditaksir oleh Aria, dan bayi kucing jantan kecil bermulut lebar nan lucu milik Orange Planet Company yang diberi nama MAA. *ini beneran lho, suer! tidak ada tendensi tertentu! kalau ada yang mau protes, harap hubungi pembuat film*. Tingkah mereka (kucing-kucing) itu lucuuu banget.

4. Lagu-lagunya itu bagus banget. Opening theme-nya berjudul “Undine” dan ending-nya berjudul “Rainbow”. Liriknya, syairnya… Bagus banget (bagi saya, setidaknya šŸ™‚ ). Lagu yang dinyanyikan oleh Athena juga bagus (tapi saya ndak tahu artinya, karena pakai bahasa aneh T_T).

5. Ada banyak quote bagus yang bisa saya tangkap dalam anime ini.

“The world appears wonderful in the eyes of wonderful people” -diucapkan oleh Alicia-san kepada Akari-chan”

Ada banyak sih, tapi karena terbuai oleh lagu-lagunya, jadi sedikit ngantuk dan ndak sempat mencatat yang lain (bilang aja ketiduran!!! šŸ™‚ ).

6. Yang paling saya suka adalah… Film ini ‘kan berseting sometime in the future. Tapi, sedikit banget scene yang menampilkan benda-benda berteknologi tinggi. Paling cuma pesawat luar angkasa yang datang dan pergi dari Internasional Spaceport, pulau terbang yang menjadi stasiun pengendali cuaca, laptop super tipis, komunikasi e-mail antara Aqua dengan Man-Home yang hanya perlu sekian jam, dan motor terbang yang digunakan oleh para Sylph. Selebihnya, adalah teknologi masa kini. Kereta gantung, gondola, bahkan bangunan-bangunan yang ada di New-Venezia itu adalah bangunan-bangunan bergaya Renaissance. Selain itu, dalam anime ini juga tidak ada adegan kekerasan. Tidak ada senjata. Kehidupan berjalan damai dengan irama yang tenang. It’s an utopia, but it’s worth to dream for.

Pendek kata, saya suka banget anime ini. Dan, gara-gara lagunya terutama, tadi malam saya tidur dengan tenang (jarang-jarang lho…). Tapi sedikit kecewa nih, karena Aria the Animation ini hanya sepanjang 13 episode. Ada sih, yang lebih panjang, versi yang satunya, tapi belum ketemu..

Entah kenapa, kok saya jadi teringat pada salah satu sahabat yang berada nun jauh di sana (di Sumatera…). Dia itu adalah teman satu angkatan saya, tapi beda kelas. Saya di kelas A dan dia di kelas B (A dan B hanya untuk memberikan nama, bukan menunjukkan kualitas…). Tapi kami jadi akrab karena sama-sama bergabung di m***a. Brother in Arms (tepatnya sih, dia itu my sister in arms), bahkan dia sempat dipercaya untuk memimpin organisasi tersebut selama satu kali masa jabatan.

Entah kenapa kok kami bisa akrab dengan cepat. Mungkinkah karena punya minat yang sama? Atau sifat yang sama? Atau… justru karena kami sangatĀ berbeda? Saya belum tahu alasannya sampai saat ini. Pathetic? Maybe I am šŸ˜¦ .

Kami pernah bergabung di ormawa yang sama… Kami pernah aktif di laboratorium yang sama… Kami pernah berkunjung ke Semeru bersama (it was a good adventure)… Dia itu sparring partner saya… Dia orang Jawa (kelahiran Klaten) tapi dak hapal cerita wayang walaupun kalau ada wayang bakal nonton sampai habis… Kami sering ngobrol ngalor ngidul gak jelas juntrungannya di depan lab… Kami sering mengerjakan tugas bersama… Saya pernah masuk ke kamar kosnya (yang rapi banget)… Kami pernah tertarik pada metafisika šŸ™‚ … Kami di-wisuda bareng (diaĀ dicurigai sebagaiĀ PW saya)… Hubungan saya dengan orang ketiga yang menempati pojokan hati saya bubar karena dia… Hmm, apa lagi ya? Banyak banget hal yang melibatkan dia dalam kehidupan saya waktu itu.

Sekarang, dia bertualang ke Sumatera. Katanya sih, ke dekat sungai Musi sana… Katanya, dia tambah cantik (belum terbukti šŸ™‚ )… Katanya, dia sudah menjadi pegawai tetap… Katanya, Y!M ID-nya ganti… Katanya, dia belum bisa libur dalam waktu dekat… Katanya, perusahaan tempat dia bekerja itu baru saja membuka lowongan… Katanya, mungkin dia akan melanjutkan belajar ke luar Indonesia… Katanya, dia akan menikah bulan Desember tapiĀ ndak tahu kapan tahunnya šŸ™‚ … Katanya, dia lagi jomblo…

Lalu, kenapa saya membuat posting tentang dia? Entah… Saya dak bakalan bisa menjawab kalau ditanya seperti itu. Pengen aja. Mungkin karena ulang tahunnya sudah dekat?… Mungkin karena ulang tahunnya sudah lewat? *saya lupa šŸ˜¦ *… Mungkin karena kami bakal ketemu sebentar lagi?… Mungkin karena dia baru kirim sms?… Mungkin karena saya dak bisa menemukan Y!M ID-nya yang baru?… Mungkin karena dia dak pernah kirim e-mail? Mungkin. Saya dak bisa menjawab dengan pasti.

Aneh? Mungkin juga…

Sebenarnya, tulisan ini dibuat dalam perjalanan, jadi tidak waktu sedang online.

Stasiun Gubeng, 18 Juni 2007, 17.35…

Untuk kesekian kalinya, aku duduk di kursi ini. Menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke Bandung (karena tadi telat, terpaksa harus naik Turangga yang harga tiketnya agak sedikit lebih mahal). Orang-orang lalu lalang, dan berbagai kereta dengan berbagai nama pun datang dan pergi…

Dua kursi di depanku, duduk seorang bapak dan anak gadisnya. Beberapa tas besar tergeletak di sampingnya. Bapak itu, duduk tenang sambil mengawasi orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya (seperti aku) sambil menikmati penampilan pengamen yang membawakan lagu-lagu jazz. Sesekali, dia menanggapi kelakuan anak gadisnya yang mencoba menarik perhatian.

Gadis kecil itu cacat (calon cantik šŸ™‚ ) dan tingkah lakunya menggemaskan banget. Lucuu bangett.. Bahkan saat dia menata mainan serta buku-buku cerita yang dibawanya (sepertinya, dia sudah diajari tanggung jawab, tuh…)

Turangga, 18.30…

Aku duduk di kursi nomor 10 B. Eh, tidak disangka, tiada terduga… Ternyata bapak dan anak gadisnya itu duduk di kursi nomor 10 C dan D!

Tidak menunggu lama, sebelum makan malam dibagikan, gadis kecil itu telah tertidur. Asli, kelihatan capek banget… Dia bahkan tidak mempedulikan bapaknya yang mengajak makan malam. Heh, wajah tidurnya ituĀ  begitu tenang… begitu… DAMAI!

Jadi ingat lagunya MLTR nih; “… O my sleeping child, the world so wild, but you’ve built your own paradise…

Entah kenapa, aku begitu mudah tertarik pada anak-anak kecil. Tapi bukan berarti pedofilia, lo ya! Tapi, aku tertarik pada tingkah laku mereka yang penuh energi, wajah mereka yang begitu polos, dan mata yang penuh rasa ingin tahu itu… Semua begitu menakjubkan…

Turangga, 19.50…

Gadis kecil itu benar-benar pulas dalam pelukan bapaknya. Sayang ‘gak ada kamera, jadi dak bisa mengabadikan momen itu (juga khawatir dianggap melanggar privasi orang, sih). Asli, ekspresi sang Bapak yang dengan hati-hati dan penuh kasih sayang menyelimuti gadis kecilnya itu membuatku teringat pada Bapak (semoga beliau diberkahi Allah…). Mak nyess… rasanya di hati ini.

Saya speechless saat mendengarĀ dia mengucapkan kalimatĀ itu… Anak ini adalah salah satu anak saya yang kemarin lolos lulus UAN. Sehari-hari, dia termasuk dalam kelompok siswa yang rajin. Rajin bolos, rajin telat, rajin tidak mengerjakan PR, dan termasuk fans setia Lupus (yang pergi ke sekolah dengan baju seragam dikeluarkan dan hanya membawa satu buah buku yang dilipat dan kemudian diselipkan di saku belakang celana).

Sebagai seorang guru, sudah menjadi tradisi untuk menanyakan kepada siswa tentang langkah berikutnya yang akan dia ambil setelah lulus. Jawaban anak-anak saya yang lain cukup ‘normal’… Ada yang langsung bekerja (karena dia lulusan SMK, sehingga sudah punya keahlian), ada yang akan meneruskan kuliah (dua orang akan mencoba tes ke D3 di ITS, almamater tercinta. Ah, saya jadi terharu saat mendengar keinginan mereka itu…), ada yang akan menikah bulan depan (nyalip gurunya yang belum menemukan calon pendamping šŸ˜¦ ).

Semuanya ‘normal’… Sampai tiba giliran anak itu untuk menjawab. Awalnya, dia mengumumkan bahwa dia akan mengikuti seleksi untuk menjadi seorang polisi. Masih ‘normal’, tapi kemudian kalimat berikutnya adalah yang sekarang menjadi judul posting ini. Bumi gonjang-ganjing, langit runtuh, samudera mengering… šŸ˜¦

Dalam dua hari, saya harus menghadapi dua hal yang sangat mengejutkan dan menyedihkan… Kalimat yang diucapkan anak itu, yang mengundang gelak tawa dari mereka yang mendengarnya, telah menohok perasaan saya. Asli, saya terpukul dengan pernyataan itu. Saya gagal menanamkan sebuah nilai penting kepada anakĀ itu…

Bagaimana mungkin orang malas akan sukses? Kecuali jikaĀ ‘orang malas’ didefinisikan ulang sebagai orang yang bekerja keras dengan penuh semangat dan dedikasi tinggi… Bagaimana mungkin orang malas akan menjadi seorang opsir polisi yang baik, yang mengayomi masyarakat, yang berdedikasi tinggi, yang benar-benar polisi???

šŸ˜¦ Yah… sayaĀ tidak akan menyalahkan sistem atau siapapun juga… Ini kesalahan saya sebagai guru… Saya harus belajar lebih baik agar dapat menjadi guru yang lebih baik lagi… Walaupun saya harus menempuh jalan ini sendirian, saya nggak akan menyerah!!!

Sedih nih…

Posted: 16 Juni 2007 in pendidikan

Ugh… Saya sedih šŸ˜¦

Tadi, saya berkunjung ke sekolah tempat saya mengajar selama beberapa tahun terakhir… Dan saya mendapati kenyataan yang menyedihkan dan mengecewakan.

Stasiun Produksi LokalĀ TV Edukasi yangĀ dibangun dengan susah payah dan mengorbankan banyak waktu serta tenaga ternyata sekarang hanya menjadi satu item dalam daftar proyek mangkrak. Studio mini dikunci sepanjang hari. Otomatis, tim produksi yang terdiri dari para siswa pun jadi bubrah karena tidak ada tempat untuk aktualisasi diri. Pengaturan jadual piket untuk menjaga studio juga buyar dengan sendirinya. Studio pun diserbu rayap yang mengancam menghancurkan stage. Salah satu dari dua komputer editing multimedia yang dimiliki stasiun lokal mengalami gangguan sistem sehingga harus di-opname-kan di bengkel. šŸ˜¦

Wajar ‘kan kalau saya sedih…Ā Karena stasiun produksi lokal ini duluĀ berada dalamĀ tanggung jawabĀ saya. Karena semua yang telah saya bangun bersama anak-anak dan beberapa rekan dengan pengorbanan waktu, uang, tenaga, dan pemikiran, hilang dan harus dibangun dari awal lagi hanya dalam waktu 2 semester…

Semua itu berawal dari ketidakpercayaan sekolah pada siswanya sendiri. Karena alat-alat yang ada di stasiun produksi lokal TV Edukasi memang memiliki bandrol yang ‘sedikit’ lebihĀ tinggi daripada perlengkapan yang ada di fasilitas sekolah lainnya. Dan, ada ketakutan bahwa siswa akan merusak alat-alat itu…

Tapi, bukankah alat-alat itu dibeli untuk digunakan oleh siswa, sebagai sarana pengembangan potensi diri mereka? Bukankah sekolah itu adalah tempat menyenangkan dimana siswa belajar tentang indahnya hidup, tentang berharganya hubungan antar-manusia yang berlandaskan kepercayaan?

Lalu, bagaimana jika sekolah mengkhianati hakikat dirinya sendiri dengan mengkekang kebebasan siswanya, memasung kreatifitas mereka, menempatkan mereka dalam penjara berupa bangunan boring denganĀ sipir berlabel guru?

Asli, saya jadi teringat pada Izza dan perasaannya yang tertuang dalam ‘Dunia Tanpa Sekolah’ itu… Sistem pendidikan di Indonesia ini memang salah jalan. Sudah begitu, sopir yang mengendalikan juga tidak memiliki panduan tetap yang bisa dijadikan acuan agar tidak kesasar.

Sebenarnya, sistem sudah bagus. Pelaksana sistem lah yang error… Ah, jadi emosi nih… Ini harus diubah!!! Dimulai dari reformasi mindset para guru serta masyarakat Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan reformasi sistem pendidikan. Sistem yang percaya pada siswa… Sistem yang percaya bahwa setiap manusia itu berbeda dan memiliki potensi masing-masing… Sistem yang akan meng-akomodir semua pihak…

Kalau mindset dan sistem sudah diperbaiki, maka anak-anak saya akan bisa bebas berekspresi. Rencana membuat f*** dok******r tentang pahlawan lokal Situbondo pun bisa direalisasikan… Dan anak-anak itu pun akan dapat belajar tentang banyak hal yang baik dalam kehidupan ini

Perjalanan…

Posted: 15 Juni 2007 in hobby

Untuk mencapai Situbondo, seseorang yang berdomisili di Bandung harus pergi ke Surabaya terlebih dahulu. KarenaĀ uangnya kurangĀ beberapa alasan, saya memilih menggunakan kereta api kelas ekonomi bisnis, Mutiara Selatan.

Seperti fasilitas umum lain yang ada di Indonesia, kereta yang membawa saya itu memiliki kondisi yang lumayan (parahnya). Sudah jalannya lambat, kenyamanan penumpang tidak diperhatikan pula… Kecoak berseliweran, bukan hanya di toilet tapi sudah merambah ke kabin penumpang… Dan baunya itu lho, gak nguati!!! Sudah begitu, per kursi juga sedikit rusak… Dan, banyak penumpang yang tidak duduk sesuai nomor pada tiketnya…! Bahkan salah satu di antara mereka menyerobot tempat duduk saya!!!Untung saja saya sedang berpantang masalah, jadi terpaksa membiarkan orangĀ tersebut duduk tenang di kursi terbaik diĀ gerbong nomor 5 itu… **tapi, awas kalau ketemu lagi**

Untungnya, perjalanan dilakukan malam hari sehingga kedongkolan ini dihapuskan oleh kantuk yang menyerang…

Pagi, jam 8.15 (telat satu jam), kereta tiba di stasiun Wonokromo, Surabaya,Ā dan saya pun turun. Melihat kembali pojokan pasar Wonokromo yang dulu pernah akrab dengan saya, jadi membuat kenangan masa lalu yang sudah dikubur ‘itu’ bangkit dan mengharu biru emosi. Jadi ingat waktu malam-malam kelayapan mencari makan di sudut pasar ini bersama teman-teman sesama penghuni kampus dan ‘teman’ yang ‘itu’… Ah, saya ini juga manusia yang punya kenangan ‘masa lalu’, lho. Oke lah, cukup dengan masalah ‘itu’.

Dari pojokan Wonokromo, naik bus kota yang full musik (baca: banyak pengamen), menyusuri jalan A.Yani yangĀ kebetulan tidak macet, dan saya pun sampai di Bungurasih. Terminal ini masih seperti dulu… Kumuh, semrawut, penuh calo, banyak copet berkeliaran, dan kejam, tapi indah serta menarik. Dinamika di terminal itu begitu cepat dan… saya kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya, nih. Masalah ini dibahas dalam postingan lain saja…

Bus yang membawa saya melaju cepat, dan perjalanan berlangsung lancar. Kecuali saat melintasi lokasi semburan lumpur panas Lapindo di daerah Porong. Menyedihkan sekali melihat lokasi itu… Mata-mata yang kehilangan cahaya harapan mendominasi pemandangan. Berbaur dengan mata yang memancarkan sinar kekhawatiran, dan mata yang menyorotkan kekaguman. Yang membuat semangat sedikit naik adalah saat melihat anak-anak dengan sorot mata riang yang berlarian di sana… Masih ada harapan dan kebahagaan untuk mereka.

Singkat kata, saya akhirnya menjejakkan kaki di tanah Situbondo yang gersang berdebu. Tidak banyak yang berubah dari kota ini (*woi, kamu baru pergi 2 semester!!!*). Tapi, memang tidak banyak yang berubah di pojok Bumi yang ini. Sejak SMU dulu, terminal induk ya seperti itu bentuk dan lengangnya. Tidak ada perubahan, kecuali semakin sepi saja… Adek menjemput dan kemudian membawa saya menyusuri jalan desa yang memotong persawahan yang luas tempat saya biasa bermain dulu. Saya seolah memasuki sebuah lorong waktu yang melontarkan saya ke masa silam. Pohon-pohon itu, masih menaungi jalan dengan kerimbunan daunnya… Sungai itu, masih mengalir dengan setia… (dan baunya masih tetap khas, bau limbah PG!!! šŸ˜¦ )

Akhirnya, Adek menghentikan motor di depan rumah tempat kami dibesarkan… Tetap bercahaya, walaupun wajah tuanya mulai nampak di beberapa bagian. Taman depan rumah dipenuhi bunga mekar yang menyambut saya (*halah… terlalu, nih*). Sayang pohon mangga itu belum berbuah (sebentar lagi musimnya mulai…). Hanya pohon jambu di pojok halaman yang setia memberikan buahnya sepanjang musim. Bunda pun menyambut dengan bahagia… Aku pulang!!!

Akhirnya…

Posted: 13 Juni 2007 in narsis

Gak terasa (sebenarnya berasa sih, tapi mode hiperbolistiknya sedang ON), sudah dua semester berlalu di ITB. Semester matrikulasi dan semester satu. Semuanya diakhiri kemarin, dengan gong ditabuh oleh Pak Budi Rahardjo,Ā saat tur keliling Pusat Mikroelektrtonika (dulu namanya PAU Mikroelektronika). Tur ini, sedikit banyak telah memberikan peranan dalam sakitnya Pak BudiĀ (semoga cepat sembuh, Pak…).

Sesuai tradisi, setiap pergantian semester biasanya ada waktu libur yang cukup lama. Jadi, saya pulaaaang…Ā  *dengan ekspresi setengah mengantuk gara-gara kebanyakan begadang selama 1 bulan terakhir (ujian.. šŸ™‚ )

Ahh… **membayangkan**,

Bisa melihat lautan bintang lagi (yang sulit sekali untuk dilihat di Bandung ini) … Bisa melihat lautan tebu lagi… Gak bakal kedinginan lagi (kota saya itu termasuk wilayah pantai dan merupakan salah satu daerah terkering di bagian timur Jawa) … Bisa ketemu anak-anak saya lagi… Bisa main ke laut lagi… Bisa makan seafood sepuasnya lagi… Bisa tidur lama tanpa ada rasa khawatir (sebenarnya masih ada tugas PHP yang wajib dikumpulkan 2 minggu lagi, tapi untuk sementara dianggap angin lalu šŸ™‚ ) … Bisa makan masakan orang rumah lagi… dan banyak ‘bisa’ yang lainnya lagi.

Bukannya saya menentang sumeba miyakoĀ , dan bukannya meng-iming-iming-i mereka yang berada nun jauh di sana *jauh banget…* tapi ini adalah ungkapan kegembiraan yang keluar dari lubuk hati terdalam *ahh…. lagi-lagi menulis bahasa aneh*, yang bakal dirasakan oleh semua orang yang pernah mengalami ‘hidup jauh dari keluarga’. Yang membuat orang yang mengalami akan menempuh perjalanan dengan kereta dan bus selama 24 jam dengan senang hati (saya, contohnya šŸ™‚ )

Jadi… Situbondo, here I come