Arsip untuk Oktober, 2022

Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?

Pratap Triloka yang merupakan bagian dari Filosofi Pendidikan Nasional yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara, menunjukkan bagaimana seharusnya seorang guru itu, yaitu Ing Ngarso sung Tulodo, Ing Madyo mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Seorang guru seharusnya dapat menjadi teladan, memberikan contoh dengan berdiri/maju di depan murid-muridnya, agar para murid dapat meniru tingkah laku sang guru. Seorang guru juga harus dapat berpihak pada murid dan dapat membangun semangat, serta memotivasi para murid tersebut agar mereka selalu rindu sekolah karena mereka merasa nyaman dan senang saat belajar di sekolah. Terakhir, seorang guru harus dapat mendorong murid-muridnya agar mereka dapat tumbuh berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam membuat/mengambil sebuah keputusan, apalagi jika dihadapkan pada Dilema Etika dan Bujukan Moral, seorang guru harus dapat menjadi teladan, berpihak pada murid dan selalu mendorong mereka untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan minat dan bakat yang terpendam dalam diri setiap murid.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Prinsip pengambilan keputusan ada 3, yaitu Rule-based Thinking (mengedepankan ketaatan pada peraturan yang berlaku), End-based Thinking (mengutamakan nilai-nilai agama, penghargaan akan hidup dan masa depan), dan Care-based Thinking (memiliki rasa kasih sayang, cinta, toleransi, kesetiaan, dan empati terhadap murid, agar murid dapat lebih terbuka dan tertarik untuk bergabung dengan pembelajaran). Ketiga prinsip itu berkaitan erat dengan Nilai-nilai kebajikan universal yang telah dipelajari di modul sebelumnya.

Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi ‘coaching’ yang telah dibahas pada sebelumnya.

Materi pengambilan keputusan terkait erat dengan kegiatan coaching karena proses pengambilan keputusan ini dapat dilakukan dengan mempraktekkan berbagai teknik coaching untuk menemukan solusi atas permasalahan dilema etika dan bujukan moral yang kita hadapi sebagai seorang pemimpin.

Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

Manusia adalah mahluk yang diciptakan memiliki “rasa”, yang menjadi pembeda antara manusia dengan hewan. Perasaan ini sangat dipengaruhi oleh aspek sosial emosional. Karena itu, setiap pengambilan suatu keputusan pasti akan dipengaruhi oleh kompetensi sosial emosional seseorang. Guru juga demikian. Kompetensi sosial emosionalnya akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dijalani oleh guru. Dilema etika adalah suatu permasalahan yang sangat melibatkan perasaan. Ia muncul karena adanya “kebenaran” yang bertentangan dengan “kebenaran” lainnya yang mengakibatkan munculnya kebimbangan. Karena sumbernya adalah perasaan, sudah pasti kompetensi sosial emosional akan sangat berpengaruh di dalam pemecahan masalah dilema etika.

Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Moral dan etika adalah bagian dari nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Secara pribadi, seorang manusia juga pasti memiliki nilai-nilai dan norma yang dianutnya, yang tumbuh berdasarkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan atau ditanamkan dalam proses pendidikan formal dan nonformal yang dijalaninya. Nilai-nilai pribadi ini bisa saja sama dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat atau berbeda. Namun, sebagaimana yang diajarkan oleh para leluhur kita, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, sebaiknya kita menerapkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Masalah yang terkait dengan moral atau etika muncul ketika ada nilai-nilai yang bertentangan. Masalah moral muncul saat ada pelanggaran terhadap nilai-nilai yang berlaku sementara masalah etika muncul ketika ada 2 nilai yang sama-sama benar dan berlaku di masyarakat namun bertentangan pada suatu kasus. Untuk membahasnya, maka tidak bisa tidak, seorang pendidik harus kembali kepada nilai-nilai yang dianut dan diyakininya secara pribadi.

Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Dengan mengambil keputusan yang tepat, setelah melalui 9 langkah pengujian, maka keputusan yang diambil akan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dan terdampak oleh keputusan itu. Apalagi jika keputusan ini terkait masalah moral, karena sudah jelas terjadi pertentangan benar lawan salah di dalamnya. Semua pihak akan dapat menerima keputusannya dengan tenang dan senang. Namun pada masalah etika, keputusan yang diambil haruslah yang benar-benar dapat diterima oleh semua pihak karena yang terjadi adalah pertentangan benar lawan benar di dalam kasus ini. Apabila keputusan yang diambil dapat diterima oleh semua pihak, maka semua akan merasa senang, ikhlas, dan aman serta nyaman.

Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Pada prinsipnya, apapun keputusan yang diambil dalam memecahkan masalah dilema etika adalah benar adanya. Namun, karena perbedaan prinsip dan paradigma yang dianut dalam pengambilan keputusan, maka terjadilah pertentangan benar lawan benar yang terkadang membuat kedua belah pihak sama-sama merasa sulit untuk menerima keputusan yang diambil. Dalam pengalaman saya, hal ini lah yang menjadi tantangan dalam mengambil keputusan terhadap kasus dilema etika yang pernah saya hadapi. Kedua belah pihak sama-sama bersikukuh bahwa dirinyalah yang benar, dengan argumen dan dasar yang sama-sama kuat. Karena itu, keputusan yang diambil haruslah yang benar-benar dapat diterima oleh kedua belah pihak. Apabila keputusan yang diambil memenangkan argumen salah satu pihak, maka penyampaian keputusan harus dibuat sedemikian rupa agar tidak ada yang merasa menang atau kalah.

Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Setiap keputusan yang kita (sebagai seorang pendidik) ambil, memiliki satu hal yang mendasar dan harus selalu diingat, yaitu keputusan itu haruslah berpihak pada murid. Dengan tujuan untuk menumbuhkembangkan murid-murid itu sesuai dengan kodrat alam dan zaman, sehingga mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang merdeka, yang selamat raganya dan bahagia jiwanya. Untuk itu, setiap keputusan yang kita ambil haruslah dapat menjadi pembelajaran bagi para murid. Untuk mengembangkan potensi mereka (yang berbeda-beda), maka kita dapat melakukan differensiasi dalam proses, konten atau produk yang dihasilkan dalam pembelajaran.

Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Setiap keputusan yang diambil oleh seorang guru akan berdampak langsung terhadap murid-muridnya. Murid-murid itu juga akan melihat proses pengambilan keputusan yang dijalani oleh guru mereka dan kemudian mereka akan meniru pada saat mereka menghadapi permasalahan yang sama. Sebagai contoh, di sekolah saya ada perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh siswa pada 2 kompetensi keahlian yang berbeda, padahal mereka serumpun. Di kompetensi keahlian TKJ, siswanya memiliki kompetensi yang baik namun attitude mereka masih kurang, karena guru-gurunya fokus pada pengembangan skill mereka. Sementara di kompetensi keahlian MM, murid-muridnya memiliki skill yang baik dan attitude yang baik juga (sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat) karena guru-guru mereka tidak hanya fokus pada pengembangan skill namun juga terhadap pengembangan attitude para murid.

Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?

Kesimpulan akhir yang dapat saya tarik dari pembelajaran modul 3.1 ini dan keterkaitannya dengan modul sebelumnya adalah bahwa proses pengambilan keputusan yang dijalankan seorang guru berdasarkan kepada 4 paradigma 3 prinsip dan 9 langkah pengujian, dimana proses ini sangat terkait erat dengan berbagai materi yang telah dipelajari pada modul sebelumnya. Prinsip dan paradigma berpikir seorang guru pastilah dipengaruhi oleh Filosofi Pendidikan yang dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara, nilai-nilai dan peran serta visi guru penggerak yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, budaya positif yang berlaku di lingkungan tempat sang guru berada, dan kompetensi sosial emosional yang dimilikinya. Proses coaching dan pembelajaran berdiferensiasi akan menjadi dasar pada saat seorang guru melakukan 9 langkah pengujian pengambilan keputusan. Jadi, pada dasarnya, setiap modul dalam Pendidikan Guru Penggerak ini akan mempengaruhi proses belajar modul berikutnya dan sangat terkait erat satu sama lain.

Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?

Dilema Etika dan Bujukan Moral adalah masalah yang timbul karena adanya pertentangan antara nilai-nilai yang dianut di masyarakat dengan nilai-nilai yang diyakini secara pribadi. Disebut dilema etika saat terjadi pertentangan antara 2 nilai yang sama-sama benar, dan disebut bujukan moral pada saat terjadi pertentangan antara nilai yang benar melawan nilai yang menyalahi peraturan. Penerapan 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan adalah proses yang harus dilakukan seorang pemimpin dalam membuat sebuah keputusan agar keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada murid, dan dapat dipertanggungjawabkan serta diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat.

Hal yang di luar dugaan saya adalah bahwa kita harus menjalankan semua proses itu (4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah) dalam membuat sebuah keputusan. Pada awalnya, saya mengira bahwa saya hanya perlu melakukan salah satunya, untuk membuat sebuah keputusan. Namun ternyata, saya harus melakukan semuanya.

Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?

Sebelum mempelajari modul ini, saya pernah mengambil keputusan dalam situasi moral dilema, hanya saja pada waktu itu saya tidak mengetahui tentang 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah pengambilan keputusan. Keputusan yang saya ambil pada waktu itu didasarkan pada nilai-nilai yang saya yakini secara pribadi dan logika saja.

Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?

Setelah mempelajari konsep pengambilan keputusan ini, dalam melakukan pengambilan keputusan saya akan menjalankan semua tahapan untuk meminimalisir resiko/dampak negatif dari keputusan yang saya ambil. Dan, keputusan yang saya ambil akan selalu berpihak pada murid dengan berpegang teguh pada nilai-nilai kebajikan yang berlaku secara universal.

Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?

Sebagai seorang individu, saya harus menguasai proses pengambilan keputusan yang baik agar dapat berinteraksi dan berpartisipasi dengan baik sebagai bagian dari kelompok masyarakat, dan sebagai seorang pemimpin saya perlu mempelajari modul ini agar dapat melakukan pengambilan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterima oleh semua golongan yang saya pimpin.

Coaching untuk Supervisi Akademik adalah materi yang disampaikan di Modul 2.3 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5 yang sedang saya jalani. Dan, jujur saja, ini adalah pertama kalinya saya mengenal/ bersinggungan dengan materi coaching. Apalagi coaching yang digunakan dalam proses Supervisi Akademik.

Program Pendidikan Guru Penggerak tidak hanya menyiapkan para pemimpin pembelajaran, namun juga menyiapkan para Calon Guru Penggerak sebagai seorang kepala sekolah. Dan, salah satu tugas kepala sekolah adalah melakukan supervisi akademik terhadap para guru yang ada di sekolah yang dipimpinnya. Supervisi akademik dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, dimana pembelajaran harus diselenggarakan dalam suasana belajar yang

  • interaktif;
  • inspiratif;
  • menyenangkan;
  • menantang;
  • memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan
  • memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan. Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Rangkaian supervisi akademik ini digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.

Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Pendekatan dengan paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Sejalan dengan hal ini, dengan adanya program Pendidikan Guru Penggerak ini, kita diharapkan menjadi supervisor atau kepala sekolah yang memiliki paradigma berpikir dan keterampilan coaching dalam rangka pengembangan diri dan rekan sejawat.

Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee.

(Grant, 1999)

Coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya.

Whitmore (2003)

…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.

International Coach Federation (ICF)

Sebenarnya ada banyak metode pengembangan diri yang lain, yang bisa dipraktekkan di sekolah. Yaitu, mentoring, konseling, fasilitasi dan training. Namun, agar pembahasan tidak melebar ke mana-mana, kita akan fokus pada coaching.

Coaching, dari segi istilah menunjukkan bahwa metode ini berasal dari luar. Kenapa kita harus memakainya? Apakah metode yang diajarkan Ki Hajar Dewantara tidak sebagus metode coaching? Jangan lupa bahwa Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Definisi coaching adalah menuntun. Jadi, hal ini sejalan dengan pemikiran Filosofis Pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Bahkan, coaching mengedepankan komunikasi yang penuh kasih dan persaudaraan, persis dengan prinsip Ki Hajar Dewantara.

Paradigma berpikir dalam proses coaching ada 4, yaitu :

  • fokus pada coachee
  • bersikap terbuka dan rasa ingin tahu
  • memiliki kesadaran diri yang kuat
  • mampu melihat peluang baru dan masa depan

Prinsip Coaching ada 3, yaitu :

  • kemitraan
  • proses kreatif
  • memaksimalkan potensi

Kompetensi inti coaching ada 3, yaitu :

  • kehadiran penuh/presence
  • mendengarkan dengan aktif (mendengar dengan Rasa)
  • mengajukan pertanyaan berbobot

Salah satu cara untuk melatih presence adalah dengan melakukan kegiatan STOP dan Mindfulness yang telah dipelajari pada Modul 2.2-Pembelajaran Sosial Emosional. Demikian juga dengan kompetensi lainnya, mendengarkan aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot. Semua itu dapat dilatih dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah dibahas di Modul sebelumnya, salah satunya adalah Modul 2.1-Pembelajaran Berdiferensiasi dimana coach/guru mengajukan berbagai pertanyaan dan instruksi kepada murid-muridnya dalam kelompok-kelompok kecil.

RASA merupakan akronim dari ReceiveAppreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:

R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.  Perhatikan kata kunci yang diucapkan.

A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee.  Respon yang diberikan bisa dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.  Bentuk apresiasi akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.

S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama.  Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.  Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya.  Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai

A (Ask/Tanya).  Sama dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya terkait kiat mengajukan pertanyaan berbobot berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:

  1. ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)
  2. ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya
  3. pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi
  4. dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana
  5. Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”

Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri.   Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya.

Dengan menggunakan tahapan TIRTA ini, diharapkan para coach memiliki acuan/garis besar yang dapat dijadikan pegangan dalam melakukan coaching. Pun jika digunakan terhadap sesama rekan guru pada saat melakukan supervisi akademik.

Demikian tulisan tentang coaching ini. Terima kasih atas perhatiannya. Materi saya ambil dari LMS Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5 Modul 2.3 – Coaching untuk Supervisi Akademik.