Beberapa hari yang lalu, Bunda menelepon. Bercerita tentang keadaan rumah, kesibukan beliau yang terus meningkat, dan tentang Adek yang semakin nge-top di sekolah (adik saya ini juga seorang guru). Juga tentang anak gadis salah satu rekan beliau yang, katanya, semakin menarik saja (sepertinya bakal dikenalkan…). Dan, tak lupa, tentang dunia pendidikan di Situbondo.
Kata Bunda, di kota saya yang kecil, jorok, ketinggalan jaman, dan norak namun ngangeni itu, telah dilangsungkan pemilihan kepala sekolah dan guru favorit. Beliau tidak bercerita tentang proses detailnya (apakah seperti proses pemilihan idol itu?). Yang diceritakan adalah tentang pemenangnya. Di posisi teratas, ada dua nama yang sangat saya kenal. Posisi satu adalah Ibu Kumudawati, kepala SMK Negeri 1 Panji, yang disusul secara ketat oleh Pak Agus, kepala SD Negeri 4 Mimbaan. Posisi 3 tidak saya kenal, karena itu saya lupa namanya. Demikian pula dengan guru favorit, tidak kenal (secara pribadi, maksudnya)…
Kepala Sekolah favorit pertama itu adalah kepala sekolah saya sendiri. Dan, melihat sepak terjang beliau, saya rasa wajar saja jika beliau terpilih sebagai favorit pertama. Kapan-kapan saja cerita tentang beliau itu saya jadikan sebuah posting. Sekarang saya hanya akan bercerita tentang Pak Agus, favorit kedua.
Keberhasilan Pak Agus ini sebenarnya merupakan sesuatu yang tak disangka dan tiada diduga. Ini karena beliau memimpin sebuah sekolah yang tidak termasuk dalam jajaran sekolah nge-top. Walau dapat dikatakan bahwa SDN 4 Mimbaan itu berada di tengah kota, namun sekolah ini berbagi halaman dengan SDN 1 Mimbaan, salah satu sekolah paling top di Situbondo, yang selalu menjadi pilihan pertama para orang tua dalam setiap tahun ajaran baru, yang sering sekali mewakili Situbondo dalam berbagai perlombaan tingkat propinsi atau nasional, dan yang para lulusannya telah banyak menjadi orang sukses. Karena berbagi halaman itu (suatu tradisi yang menurut saya agak aneh), maka nama SDN 4 Mimbaan seolah tenggelam. Kalah pamor dengan tetangganya.
Dan, begitu Pak Agus terpilih jadi Kepala Sekolah favorit kedua, gemparlah dunia pendidikan Situbondo. Kok bisa ya? Itu pertanyaan yang diajukan oleh banyak orang.
Namun, bagi saya, itu wajar saja…
Yup. Karena saya kenal baik dengan Pak Agus. Bagaimana tidak mau kenal, kalau beliau menjabat sebagai guru kelas 5 dan 6 di SD saya dulu. Menjadi guru kelas di sebuah SD desa seperti sekolah saya itu (SDN 2 Panji Lor… promosi nih ) berarti bertatap muka 7 hari dalam seminggu, sepanjang hari, hanya diselingi oleh jam olah raga, kesenian, dan agama yang masing-masing berdurasi 2 jam. Selebihnya adalah milik guru kelas. Apa gak bosan tuh? Jujur saja, nggak!
Bagaimana mau bosan, jika Pak Agus (waktu saya kelas 5 dan 6 itu) mengajar matematika (bidang ilmu beliau yang sebenarnya) dengan begitu menariknya sehingga berbagai persoalan rumit yang belum tentu bisa dipecahkan oleh Einstein pun dapat diuraikan dengan begitu mudahnya (soal ini… hiperbolis aja, bukan arti harfiah, oke? 😉 ).
Bagaimana kami akan bosan, jika dengan piawainya Pak Agus mengajak kami berkeliling dunia, melihat berbagai lokasi menarik yang tersebar di seluruh pelosok Bumi seolah kami benar-benar mengunjungi tempat-tempat itu. Seolah kami benar-benar menikmati angin sepoi-sepoi yang membekukan di puncak K2…
Bagaimana kami akan bosan, jika dengan ahlinya beliau mengenalkan kami pada berbagai mahluk hidup menakjubkan yang berkeliaran di atas permukaan Bumi seolah mahluk-mahluk itu benar-benar ada di dalam ruang kelas…
Dan, secara pribadi, saya tidak akan pernah melupakan beliau… Karena bersama beliaulah yang menginspirasi berbagai mimpi saya.
Dit… Kalau bisa, kuliahlah kamu di ITS atau ITB. Kampus-kampus terbaik di Indonesia. Setelah itu, terserah kamu… Mau kembali ke Situbondo atau mau menjelajah dunia
Waktu itu, dengan polosnya (dan penuh semangat), saya menjawab… “Bagaimana kalau S1-nya di ITS, S2-nya di ITB, kemudian S3-nya di Jepang, Pak? Sepertinya asik tuh…”
Beliau hanya tertawa kecil mendengar optimisme seorang anak kecil dari sebuah dusun kecil di dalam ruang kelas yang kecil itu. (Dan, ternyata, perjalanan hidup telah membawa saya ke tahap ini. Karena itu, saya percaya banget bahwa setiap ucapan itu adalah doa)
Bagi saya, mungkin beliau itu sama dengan Pak Balia-nya Andrea Hirata dalam buku Sang Pemimpi. Penuh dedikasi, penuh semangat, dan digerakkan oleh sebuah sense serta kesadaran akan pengabdian yang kuat. Masih terekam jelas dalam ingatan saat beliau membuka mantel yang melindungi tubuh dari air yang turun begitu derasnya dan membuat motor beliau (yang usianya lebih tua dari saya) itu mogok. Dan, dengan isengnya, kami berbisik menggosip “Eh, padhana Zorro ye?“ (terjemahan: mirip Zorro ya?)
Mengingat berbagai hal itu, saya merasa wajar saja jika beliau terpilih sebagai salah satu kepala sekolah favorit. Oke lah, perjalanan masih panjang dan ini bukan puncak prestasi. Tapi setidaknya, bolehlah seorang murid seperti saya ini memberikan ucapan selamat kepada gurunya (yang disebarkan lewat blog). Selamat berjuang, Pak!
SEMANGAT!!!