Coaching untuk Supervisi Akademik adalah materi yang disampaikan di Modul 2.3 Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5 yang sedang saya jalani. Dan, jujur saja, ini adalah pertama kalinya saya mengenal/ bersinggungan dengan materi coaching. Apalagi coaching yang digunakan dalam proses Supervisi Akademik.

Program Pendidikan Guru Penggerak tidak hanya menyiapkan para pemimpin pembelajaran, namun juga menyiapkan para Calon Guru Penggerak sebagai seorang kepala sekolah. Dan, salah satu tugas kepala sekolah adalah melakukan supervisi akademik terhadap para guru yang ada di sekolah yang dipimpinnya. Supervisi akademik dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, dimana pembelajaran harus diselenggarakan dalam suasana belajar yang

  • interaktif;
  • inspiratif;
  • menyenangkan;
  • menantang;
  • memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan
  • memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah sebagaimana tertuang dalam standar tenaga kependidikan. Kriteria minimal kompetensi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Rangkaian supervisi akademik ini digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.

Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Pendekatan dengan paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Sejalan dengan hal ini, dengan adanya program Pendidikan Guru Penggerak ini, kita diharapkan menjadi supervisor atau kepala sekolah yang memiliki paradigma berpikir dan keterampilan coaching dalam rangka pengembangan diri dan rekan sejawat.

Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee.

(Grant, 1999)

Coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya.

Whitmore (2003)

…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.

International Coach Federation (ICF)

Sebenarnya ada banyak metode pengembangan diri yang lain, yang bisa dipraktekkan di sekolah. Yaitu, mentoring, konseling, fasilitasi dan training. Namun, agar pembahasan tidak melebar ke mana-mana, kita akan fokus pada coaching.

Coaching, dari segi istilah menunjukkan bahwa metode ini berasal dari luar. Kenapa kita harus memakainya? Apakah metode yang diajarkan Ki Hajar Dewantara tidak sebagus metode coaching? Jangan lupa bahwa Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Definisi coaching adalah menuntun. Jadi, hal ini sejalan dengan pemikiran Filosofis Pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Bahkan, coaching mengedepankan komunikasi yang penuh kasih dan persaudaraan, persis dengan prinsip Ki Hajar Dewantara.

Paradigma berpikir dalam proses coaching ada 4, yaitu :

  • fokus pada coachee
  • bersikap terbuka dan rasa ingin tahu
  • memiliki kesadaran diri yang kuat
  • mampu melihat peluang baru dan masa depan

Prinsip Coaching ada 3, yaitu :

  • kemitraan
  • proses kreatif
  • memaksimalkan potensi

Kompetensi inti coaching ada 3, yaitu :

  • kehadiran penuh/presence
  • mendengarkan dengan aktif (mendengar dengan Rasa)
  • mengajukan pertanyaan berbobot

Salah satu cara untuk melatih presence adalah dengan melakukan kegiatan STOP dan Mindfulness yang telah dipelajari pada Modul 2.2-Pembelajaran Sosial Emosional. Demikian juga dengan kompetensi lainnya, mendengarkan aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot. Semua itu dapat dilatih dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang telah dibahas di Modul sebelumnya, salah satunya adalah Modul 2.1-Pembelajaran Berdiferensiasi dimana coach/guru mengajukan berbagai pertanyaan dan instruksi kepada murid-muridnya dalam kelompok-kelompok kecil.

RASA merupakan akronim dari ReceiveAppreciate, Summarize, dan Ask yang akan dijelaskan sebagai berikut:

R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee.  Perhatikan kata kunci yang diucapkan.

A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee.  Respon yang diberikan bisa dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan “oh…” “ya…”.  Bentuk apresiasi akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu dengan situasi lain atau sibuk mencatat.

S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama.  Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.  Saat merangkum bisa gunakan potongan-potongan informasi yang telah didapatkan dari percakapan sebelumnya.  Minta coachee untuk konfirmasi apakah rangkuman sudah sesuai

A (Ask/Tanya).  Sama dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya terkait kiat mengajukan pertanyaan berbobot berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat mengajukan pertanyaan:

  1. ajukan pertanyaan berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing)
  2. ajukan pertanyaan yang membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya
  3. pertanyaan harus merupakan hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi
  4. dalam format pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana
  5. Hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”

Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri.   Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat

Dari segi bahasa, TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya.

Dengan menggunakan tahapan TIRTA ini, diharapkan para coach memiliki acuan/garis besar yang dapat dijadikan pegangan dalam melakukan coaching. Pun jika digunakan terhadap sesama rekan guru pada saat melakukan supervisi akademik.

Demikian tulisan tentang coaching ini. Terima kasih atas perhatiannya. Materi saya ambil dari LMS Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 5 Modul 2.3 – Coaching untuk Supervisi Akademik.

Tinggalkan komentar